Adanya budidaya ikan pada keramba jaring apung (KJA) di perairan
Danau Toba sangat berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat
di sana, terutama di Kecamatan Haranggaol, Kabupaten Simalungun. Status
ekonomi yang tadinya golongan menengah ke bawah berubah menjadi golongan
menengah ke atas. Bahkan, bisa dikatakan yang namanya kemiskinan hampir
tidak ada lagi di sana.
Di era tahun 60″an, perairan Danau Toba sangat kaya dengan sumber
daya alamnya. Ikan mujair yang berlimpah menjadi salah satu sumber
penghasilan masyarakat pinggiran Danau Toba. Sedangkan dari
sungai-sungai yang ada di sana juga turut membantu perekonomian
masyarakat setempat dengan banyaknya ikan yang terdapat seperti ikan
kecil atau ikan kepala putih, ikan lele, ikan itok dan ikan mas yang
dipelihara di sawah setelah panen padi selesai.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi pertanian, penggunaan
pestisida dan insektisida mulai banyak digunakan petani, menyebabkan
populasi ikan menurun tajam bahkan sangat susah ditemukan. Parahnya
lagi, dengan beroperasinya kapal-kapal bermesin diesel dan pembuangan
oli-oli bekas ke danau mempercepat rusaknya biota danau termasuk
ikan-ikan.
“Sekitar tahun 1990-1996, itulah awal terpuruknya ekonomi masyarakat
Danau Toba. Ikan mujair dan kaporas tidak lagi bisa diandalkan sebagai
pemberi nafkah bagi keluarga di Danau Toba. Keberadaannya mulai langka.
Danau Toba hanya menyisakan udang kecil dan ikan-ikan kecil yang jarang
dikonsumsi masyarakat karena sulit ditangkap serta rasanya juga kurang
enak,” ucap Ketua Asosiasi Keramba Jaring Apung Haranggaol, Gerhard
Saragih ketika berbincang dengan MedanBisnis, akhir Januari lalu, di
Hotel Niagara, Parapat.
Saat itu, Asosiasi Keramba Jaring Apung menggelar Seminar Bersama
Budidaya Ikan Air Tawar Secara Lestari di Kawasan Danau Toba dengan
menghadirkan peserta dari petani-petani ikan di kawasan Danau Toba.
Tidak hanya populasi ikan mujair yang berkurang, pertambahan jumlah
penduduk juga menurut Gerhard berakibat terhadap menurunnya kepemilikan
tanah/lahan pertanian. Mau tak mau, masyarakat mencari alternatif lain
untuk bertahan hidup.
Maka sekitar tahun 1998, salah satu perusahaan pakan ikan
memperkenalkan metode cara pemeliharaan ikan dengan sistem jaring apung.
“Sejak itulah masyarakat terutama yang tidak memiliki lahan untuk
berladang/bertani mulai beralih ke budidaya ikan yang disebut dengan
keramba,” jelasnya.
Keramba yang mulai ditekuni masyarakat sebagai penghasilan baru
lanjut Gerhard, menunjukan keberhasilannya. Bahkan, yang tadinya tidak
berminat untuk menekuni budidaya ikan nila dan ikan mas melalui KJA
tergoda setelah melihat hasil yang diperoleh sangat menggiurkan.
“Secara umum bisa dikatakan bisnis keramba telah berhasil mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat Haranggaol dan sekitarnya dengan omset
miliaran rupiah per bulan,” kata Gerhard.
Dampak nyata lainnya adalah aktivitas warga mulai padat dari yang
tadinya nyaris tidak terlihat. “Kalau dulu, bapak-bapaknya banyak yang
menghabiskan waktu di kedai kopi hanya untuk ngobrol tanpa arah dan
tujuan yang jelas. Tapi, sekarang, mereka sibuk mengurusi ikan-ikannya
di danau,” terangnya.
Dikatakan Gerhard, bangkitnya status soial ekonomi masyarakat
Haranggaol dan sekitarnya disebabkan permintaan ikan yang signifikan
dari masyarakat Sumatera Utara (Sumut).
Kesadaran masyarakat yang mulai tinggi akan kebutuhan protein membuat
permintaan ikan terus meningkat dari bulan ke bulan bahkan dari tahun
ke tahun.
“Itu juga yang membuat keberadaan KJA semakin banyak di Danau Toba.
Di Haranggaol sendiri jumlah KJA milik masyarakat sudah mencapai sekitar
1.000 an unit,” aku mantan wartawan Suara Karya ini.
Dari jumlah tersebut, sedikitnya 50 ton ikan nila keluar setiap hari
dengan daerah pemasaran Medan, Rantau Parapat, Tarutung, Balige dan lain
sebagainya.
Ia sendiri memiliki KJA sebanyak 100 unit dengan ukuran KJA sekitar 5
x 5 meter. Dan, tiap unit KJA mampu menghasilkan ikan nila sekitar dua
ton tiap kali panen. Dengan harga jual ikan nila saat ini Rp 21.000 per
kg di keramba maka tiap KJA mampu menghasilkan sekitar Rp 42.000.000.
“Setelah potong biaya produksi dan ikan yang mati, rata-rata
keuntungan bersih yang diperoleh petani ikan berkisar Rp 10 juta per
lubang (KJA). Dengan masa budidaya sekitar enam bulan. Jadi, jelas
margin yang diperoleh petani sangat-sangat membantu kami dalam
perekonomian,” aku Gerhard yang telah memulai budidaya ikan sejak tahun
2004 lalu.
(sumber: medanbisnisdaily.com)
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar